Seni
Seni mungkin memang merupakan kemampuan manusia untuk memproyeksikan mimpi atau impian diatas kenyataan, namun itu tak menjadikan seorang seniman hanya sebagai seorang pemimpi. Menurutku, pada dasarnya setiap seniman adalah seorang pemikir berat.
Impian dan kenyataan adalah pembagian yang dilakukan manusia berdasarkan apa yang bisa diukur dan dicerna oleh nalar manusia pada masa tertentu. (Kusebut masa, karena apa yg logis di tahun 2011 ini tentu tidak logis pada tahun 1920.) Pembagian yang dilakukan atas dasar mungkin dan tidak mungkin, yang lagi – lagi merupakan kotak – kotak yang dilakukan oleh manusia.
Itu sebabnya seringkali, apabila tidak bisa dikatakan setiap kali, seniman dalam bidang apapun, dianggap gila, ditolak oleh kumpulannya dengan alasan melanggar ketentuan ataupun pemahaman atas idealisme yang ada, atau dianggap memiliki masalah psikologi yang tidak sesuai dengan paham umum pada masanya.
Memang tidak dapat dipungkiri, kesempurnaan adalah kata yang sangat berat dan rumit. Mereka yang mencari kesempurnaan, tidak lain dan tidak bukan, adalah seniman. Baik kesempurnaan yang utuh, ataupun kesempurnaan dalam ketidaksempurnaan.
Kesempurnaan dalam segala wujudnya, hanya dapat ditemukan saat pemikiran dapat dibebaskan dari segala ikatan dan bentuk apapun yang diharuskan oleh manusia. Kesempurnaan bukanlah milik manusia, karenanya untuk dapat memahami kesempurnaan tersebut, batas manusia harus dihilangkan.
Harus diakui, untuk mampu memahami makna dari kesempurnaan tersebut, mau tidak mau seorang harus menghadapi ribuan ketidaksempurnaan, menjawab dan memikirkan jawaban atas jutaan pertanyaan yang tak pernah habis, dan seringkali menyedot diri ke dalam sebuah pemahaman yang apabila diucapkan, akan terdengar absurd.
Setiap manusia, pada dasarnya ingin hidup bahagia. Bahagia secara mudah disubstitusikan dengan kata aman. Aman secara nyawa, aman secara badan, aman secara jiwa, dan aman dalam hubungan dengan sesama manusia lainnya. Aman dapat dengan mudah dialihkan sebagai normal. Normal berarti sama seperti kebanyakan yang lain, atau pada umumnya. Syarat dari normal adalah tidak berlebih, tidak menyolok, dan tidak tertinggal atau dapat dikatakan sebagai: biasa – biasa saja.
Biasa – biasa saja tentu bukanlah kesempurnaan. Dan biasa – biasa saja inilah yang membuat banyak orang takut untuk berpikir dan bertanya lebih jauh mengenai kesempurnaan. Setiap manusia dalam hati kecilnya menyadari dengan amat sangat, bahwa sekali kita mengetahui sebuah kebenaran, akan amat sangat sulit untuk kembali ke posisi tidak tahu. Seringkali, jauh lebih mudah untuk menjadi tidak tahu. Karena tahu akan membuat kita terpaksa menelaah kenormalan kita kembali. Seringkali, jauh lebih mudah untuk menutup mata dan percaya segalanya akan baik – baik saja.
Namun para seniman yang ingin mencapai titik maksimal dalam dirinya, akan secara sadar berusaha menghilangkan segala harapan atas sebuah titik normal, karena harapan akan adanya titik normal hanya akan membatasi kemampuan dirinya dan membuatnya berhenti.
Setiap seniman, diakui atau tidak, dengan atau tanpa sadar, mempunyai idealisme dan gambaran ideal mengenai berbagai hal. Seni menjadi sarana di mana mereka dapat menggambarkan konsep ideal mereka, meletakkan pondasi akan dunia ideal yg mereka harapkan. Seni menjadi suara mereka, menjadi kapal layar mereka untuk perjalanan menemukan mercu suar yg mereka tuju.
Setiap seniman, diakui atau tidak, dengan atau tanpa sadar, berusaha menyimpulkan dan bertemu dengan kesempurnaan dengan cara mereka masing – masing. Van Gough dengan Impressionisme nya berusaha untuk mengekspresikan apa yang terlihat dan tak terlihat dengan apa adanya, melalui goresan kuas yang memantulkan cahaya, sekaligus dalam sebuah frame, tanpa memperdulikan pakem – pakem perspektif dan lainnya yang berlaku di masa itu. Dali dengan Surrealisme nya yang terinspirasi dari ilmu psikologi Freud, bukanlah menelan semua pakem seni mentah – mentah, melainkan berusaha mengidentifikasikan seni melalui idealisme miliknya sendiri, dan membebaskan dirinya untuk dapat secara spontan memvisualisasikannya dengan cara dan gambarannya sendiri tanpa terbelenggu oleh mungkin dan tidak mungkin, atau boleh dan tidak boleh.
Seni mungkin memang merupakan sarana berekspresi dan berbicara, seni juga mungkin merupakan sarana untuk memberontak terhadap segala belenggu. Seni mungkin juga merupakan sebuah ide dan pemahaman yang berbeda, dan menjadi penyambung antara mimpi dan kenyataan.
Namun satu yg pasti, seni adalah suara. Seni selalu ingin dimengerti. Dan cara terbaik untuk dapat menikmati seni adalah dengan belajar memahami.
Seni adalah manusia.
———– Seniman? Mungkin adalah sekumpulan orang yang memilih live for something rather than die for nothing. Mungkin juga adalah sekumpulan manusia pemikir berat yang berusaha untuk memahami cara untuk menjadi manusia yg seutuhnya. Mungkin juga adalah pemimpi yg berusaha bertahan hidup. Entahlah. Aku belum menjadi seorang seniman.
Sebuah catatan bagi diri sendiri, sebagai pengingat untuk tetap berpikir, mendeskonstruksi, mencari dan tetap waras.
“There is only one difference between a madman and me. I am not mad.” “Have no fear of perfection – you’ll never reach it.” – S.Dali-