Funambulism
Kadang kupikir hidup itu seperti funambulism tanpa jaring penyelamat. Lalu ketika tali yg kulalui semakin menipis dan bergetar hebat, aku dengan paniknya berusaha menggapai udara.
Kalau kamu pernah mencobanya, kamu pasti tau betapa menakutkannya itu. Meraih apa yg kamu tau tak ada, tapi kamu berharap keras ada, di saat kamu paling membutuhkannya.
Mungkin hidup yg tak dipertaruhkan memang takkan pernah dimenangkan, tapi tak semua orang lahir sebagai petaruh, apalagi petarung.
Kadang beda seorang pemberani dan pengecut hanyalah sebatas membuka atau menutup mata ketika berjalan di atas tali hidup. Dan keduanya mungkin dipandang sama saja oleh mereka yg menonton dari bawah; pahlawan hebat yg menginspirasi ketika berhasil sampai di ujung, atau orang nekat gila yg malang ketika terjatuh dan mati. Apa yg mereka alami selama ber-funambulism, urusan mereka.
Faktanya, hidup dan kematianku pun, hanya akan aku yg tau sesungguhnya seperti apa.
Hidup itu sesungguhnya riuh. Dan mereka yg berkata bahwa bunyi – bunyian keras di sekitar itu hingar bingar, pastilah belum pernah mendengar riuh dan pengangnya kesunyian tanpa desau angin sekalipun.
Tidak ada ketenangan dalam hidup ini. Tak pernah ada. Mungkin karena tenang memang hanya milik kematian, atau aku saja yg belum mati.
Kadang kupikir hidup itu seperti funambulism dengan penutup mata. Dan aku tak pernah ingin membukanya.